Konflik Bathin


Konflik Bathin

” Himmah itu adalah hasrat yang kuat.

Meskipun himmah telah sesuai dengan rencana yang rapi, tetap tidak akan bisa merobohkan dinding takdir.

Hal tersebut perlu dipahami dalam bahasa hakekat, agar kita tidak mengalami konflik bathin dengan Allah.

Orang sering mengalami konflik bathin dengan Allah, ketika berikhtiar.

Padahal sudah direncanakan dengan baik, caranya juga dengan cara yang baik, doanya juga baik. Dan seandainya diukur dengan hukum syariat, ikhtiar tersebut sudah sangat sesuai dengan syariatnya, namun tetap saja hasilnya gagal berantakan.

Kemudian orang menjadi muram dan bergolak bathinnya.

Kondisi seperti ini bisa terjadi, karena hatinya tidak ditata, sangat rentan mengalami konflik antara pikiran dengan hatinya.

Inilah mengapa Syech Ibnu ‘Athaillah menganggap hal ini sangat penting disampaikan pembahasannya, supaya seluruh proses hidup yang kita jalani ini, sebenarnya harus serasi dengan qudrat dan iradahnya Allah swt.

Apa yang dimaksud berserasi itu ?

yaitu apapun yang kita upayakan dan rencanakan, hasilnya sukses ataupun tidak, tetap itu takdirnya Allah swt.

Ini juga berarti bahwa yang berjalan dan sedang berlangsung, memang semuanya kehendak Allah swt.

Seandainya gagal pun, apakah itu juga termasuk kehendaknya Allah swt ? YA, karena kegagalan itu sebenarnya hakekat pemberian.

Diberi dalam bentuk apa ? diberi gagal tadi.

Oleh karenanya, janganlah kita hanya terpaku hanya pada wujud, bentuk ataupun simbol dari yang ada.

Contohnya alam semesta ini, kehidupan yang kita alami sehari-hari, kalo kita terpaku hanya pada wujud dan bentuk yang nyata di dunia ini saja, maka sesungguhnya kita sedang jauh dari yang menciptakan ini semua, yaitu Allah Rabbul Izzah.

Inilah yang mengakibatkan munculnya aliran ‘materialisme’, yaitu suatu aliran yang berpandangan bahwa materi atau wujud nyata itu adalah akhir dari kebenaran.

Kebenaran seperti apa ? misalnya kebenaran tentang 1+1, bahwa wujudnya harus menghasilkan 2, contoh lain api itu wujudnya harus panas. Padahal dia lupa, yang terjadi pada apinya Nabi Ibrahim itu tidaklah panas.

Di dalam Al-Qur’an disebutkan,
“Allah itu berkuasa, meliputi kekuasaan atas segala hal apa saja, tidak ada ketentuan Allah yang tidak meliputi segalanya”.

Termasuk juga kelemahan atau kemampuan kita, semuanya ditentukan oleh Allah swt.

Seandainya tidak ada takdir dan ketentuan Allah swt, tentunya kita tidak akan pernah maujud dan tidak pernah nyata adanya.

Sekarang yang penting adalah bagaimana kita dapat menata dan merespon posisi takdir berkenaan dengan posisi ikhtiar, sesuai dengan porsi atau posisinya masing-masing. “


Leave a Reply